26 Jam Rekor Perjalanan Mudik


H-4 Kamis, 24 Juli 2014 kami memutuskan mudik dengan pertimbangan menghindari H-3 yang diprediksi menjadi puncak arus mudik dari Jakarta ke kota lainnya di Pulau Jawa.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami berangkat mudik setelah shalat Subuh. Dengan segala pernak-pernik persiapan akhirnya kami bisa berangkat dari rumah sekitar pukul 05.30 WIB.

Lalu lintas dari rumah hingga jalan tol Cikampek relatif lancar. Namun selepas tol Cikampek kami tak boleh mengambil jalur ke kiri atau jalur Pantai Utara (Pantura). Alasannya, jalur tersebut sedang macet total.

Sepintas, jalur buangan atau disebut jalur tengah relatif lancar. Namun baru beberapa ratus meter, kami segera disergap aroma kemacetan. Hingga puluhan menit banyak pengendara berputar arah, mereka ingin tetap berspekulasi melalui jalur utara.

Sebagian besar pemudik, termasuk kami, tetap mengikuti arah di jalur tengah. Bagi kami jalur ini termasuk jalur baru. Biasanya selain melalui jalur utara (Pantura) kamu juga pernah menjajal jalur Selatan via Bandung. Ya sudahlah kita coba saja.

Anak saya yang paling kecil menyebutnya sebagai mission X, yakni sebuah tontonan televisi yang ia sukai. Meski tak sama persis kami bertekad menikmatinya seperti permainan saling mengalahkan di acara Mission X tersebut. Kami ingin mengalahkan apa yang tidak tahu menjadi tahu.

Benar saja, dari tol Cikampek kami harus menempuh perjalanan sekitar empat jam untuk jalan sekitar 5 km. Aliran pemudik terhambat perempatan tol Sadang karena selanjutnya harus masuk ke satu jalur melalui Subang.

Selepas itu sepertinya lancar, namun di beberapa titik kembali terjadi kemacetan karena banyaknya kendaraan pemudik. Akibatnya hingga Sore hari, kami yang biasanya sudah berada di sekitar Brebes, Jawa Tengah, ternyata masih berada di Subang.

Ternyata Subang dan Indramayu, lebih luas dari yang biasa kami kenal melalui Pantura. Di Subang terutama kami melalui hutan karet yang luas dengan jalan naik turun dan berbelok-belok meski tidak curam.

Di sekitar hutan karet kami jadi tahu ada lapangan udara Suryadharma milik TNI AU. Juga ada STM penerbang, yang kini dikenal SMK angkas penerbangan Kalijati, Subang. Sekolah ini di bawah pengelolaan Lanud Suryadharma.

Dan yang cukup mengesankan, di tengah areal yang sepi itu, ada kawasan pabrik cukup megah. Yakni PT Dahana, sebuah perusahaan milik negara yang berkecimpung dibidang industri bahan peledak. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan yang merupakan industri strategis Indonesia.

Di daerah ini, kami sempat menikmati matahari senja yang muncul di hamparan lahan kosong dan sela-sela hutan karet yang luas.

20140726-112715-41235471.jpg

****

Baru separuh jalan. Memasuki Kota Cirebon, hari sudah malam. Kami harus mencari tahu posisi jalan tol Kanci-Paliaman. Ini karena jalan tol tersebut merupakan satu-satunya jalan pintas menuju kampung halaman mertua atau mbahnya anak-anak di Maos, Cilacap.

Akhirnya kami menemukan pintu jalan tol. Namun karena pintu tol tersebut bertuliskan Losari, Semarang, kami lewati saja karena kami anggap itu merupakan tol menuju Ibukota Jawa Tengah.

Terjadi kebimbangan ketika istriku ngotot, bahwa pintu tol itulah yang kami cari. Agar tak terjadi perdebatan, kami memutuskan bertanya kepada penjual buah di pinggir jalan. Ternyata ia membenarkan. Pedagang itu tak menyarankan kami berbalik arah karena semua belokan di jalan itu ditutup selama mudik, ia menyarankan melalui jalur biasa.

Saran pedagang itu tak kami turuti. Kami memilih berbelok kembali ke jalan tol meski jauh. Kami tak bisa membayangkan melalui jalur biasa di malam hari. Apalagi setelah jalan tol Paliaman diteruskan ke jalan tol Pejagan, atau dikenal Jalan Tol Bakrie. Bayangkan jika melalui jalur biasa?

Jalan tol satu-satunya di Kota Cirebon tersebut cukup lancar. Kami kemudian beristirahat di rest area. Selain makan dan beli oleh-oleh, saya juga memanfaatkan adanya beberapa tukang pijat untuk melemaskan otot terutama kaki.

Setelah tenaga cukup pulih, kami melanjutkan perjalanan. Keluar tol Pejagan kami kembali disergap kemacetan luar biasa. Rusaknya jembatan Comal benar-benar berimbas luar biasa.

Hari itu merupakan hari pertama jembatan bisa dilalui, setelah sepekan rusak. Namun hanya kendaraan kecil. Angkutan umum seperti bus dan truk dialihkan menuju jalur tengah yang sedang kami lalui.

Akibatnya jalur dari Brebes menuju Cilacap kembali terjadi kemacetan luar biasa. Kendaraan yang biasanya dilalui dua jalur berlawanan arah, secara otomatis menjadi satu jalur satu arah karena derasnya kendaraan pemudik. Hanya sepeda motor yang bisa melalui jalur berlawanan tapi dengan laju yang pelan dan harus berhati-hati.

Saking macetnya di jalur ini, sejumlah kendaraan sempat mematikan mesin untuk menghemat bahan bakar. Di jalur ini, kami pun terpaksa minggir ke warung sate untuk melakukan sahur. Itu pun yang kami cari sudah habis, tinggal ayam goreng kampung yang beruntung rasanya tak mengecewakan.

Memasuki Bumi Ayu pagi hari lalu lintas yang kami lalui relatif lancar. Namun arah sebaliknya terjadi antrean luar biasa. Terutama antrean bus kosong yang diperkirakan habis mengantar para pemudik. Bus tersebut bukan hanya bus reguler, namun bus yang dicarter perusahaan untuk mengantar pemudik, hingga jumlahnya luar biasa. Apalagi disatukan menjadi satu jalur karena jembatan rusak.

Sampai-sampai butuh waktu lama untuk mencari ujung bus dalam kemacetan tersebut. Saya pun membayangkan, itulah jalur yang akan kami lewati ketika sepekan berikutnya kembali ke Jakarta.

Saya sendiri sudah lelah setelah lebih dari 24 jam berada di belakang kemudi. Selepas Bumi Ayu, kemacetan sudah lewat, saya pun menyerahkan tugas mengemudi itu kepada istri. Ini merupakan pengalaman pertamanya menggantikan saya saat mudik saking lamanya perjalanan yang harus kami tempuh.

Tepatnya sekitar pukul 07.30 WIB kami akhirnya sampai di tempat tujuan, 26 perjalanan sebagai rekor baru kami dalam melakukan perjalanan mudik.

Saya berpikir, kacaunya arus mudik tahun ini, mungkin karena Pemerintah SBY terlalu sibuk mengurusi transisi politik atau Pilpres. Puncaknya pada kerusakan jembatan Comal merupakan salah satu jalan utama pemudik. Seharusnya, hal seperti itu bisa diprediksi bila ada kepedulian mengamankan jalur mudik.

Dan memang selama dua periode pemerintahannya, hampir tak ada terobosan berarti agar mudik menjadi lebih nyaman. Logikanya fenomena mudik adalah fenomena tahunan, mestinya bisa diantisipasi sedini mungkin.

Kini kami berharap pada pemerintahan Jokowi-JK agar bisa membuat terobosan agar penyakit tahunan tersebut tidak terperangkap pada masalah itu-itu saja. Janji membuat angkutan massal via kapal laut dan kereta api kini menjadi janji yang kami tunggu sebagai pemudik.

20140726-124531-45931658.jpg

20140726-124743-46063310.jpg

20140726-124945-46185882.jpg

Yang Normal Jadi Tak Normal di Jakarta


Sebagian besar warga Ibukota pasti pernah naik angkot. Apalagi jika warga tersebut bertempat tinggal di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang/Tangsel, dan Bekasi) dan harus ke Jakarta setiap hari untuk mencari nafkah.

Saya sendiri kerap menggunakan angkot 106 jurusan Parung (Bogor)-Lebak Bulus (Jakarta Selatan). Jalanan yang dilalui angkot tersebut cukup panjang dan padat. Bahkan kemacetan arus lalu lintas di Jalan Raya Pondok Cabe, Cireundeu, seperti tak mengenal waktu.

Adapun kemacetan disebabkan karena volume jumlah kendaraan yang tak lagi sebanding dengan kondisi jalan. Banyaknya perumahan yang tumbuh di kawasan itu, termasuk Pamulang, Sawangan, Parung, hingga Bogor menyebabkan tingkat mobilitas penduduk dan kendaraan meningkat pesat.

Kemacetan diperparah dengan kian ramainya usaha pertokoan, sekolah, hingga pedagang kaki lima yang membuka usaha di pinggir jalan. Pernah terjadi stagnasi lalu lintas di kawasan itu karena ada acara pernikahan warga di pinggir jalan raya. Saat itu sebuah truk tronton hendak melintas, sementara kendaraan tamu undangan harus mencari posisi parkir

Ditambah petugas parker yang tak berpengalaman, jadi deh stagnasi lalu lintas berlangsung hingga beberapa jam. Kemacetan panjang terjadi dari depan Universitas Terbuka dan pertigaan Lebak Bulus-Cinere. Banyak kendaraan mencoba jalan alternatif, tapi hasilnya sama, karena semua orang berpikiran serupa.

Sebagian penumpang angkot terpaksa jalan kaki. Tukang ojek pun jadi laris manis. Panen penumpang.

***

Saat normal saja, menggunakan mobil pribadi bisa memakan waktu hingga satu jam dari Parung hingga Lebak Bulus. Sebaliknya menggunakan angkot  lebih cepat 15 hingga 30 menit. Sebuah waktu sangat berharga untuk para pekerja kantor yang rata-rata waktu tempuh dari rumah ke tempat kerjanya antara 2 hingga 3 jam-an

Mengapa bisa begitu? Karena kondisi Jalan Raya Pondok Cabe yang panjangnya lebih dari 5 kilometer memungkinkan sopir angkot untuk melakukan “kreatifitasnya” Tepatnya, mendahului mobil di depannya baik melalui jalur kanan, terutama jalur kiri.

Hampir tak ada trotoar di sepanjang itu. Sementara saluran air pun tertutup dan dalam kondisi rusak. Jika hujan turun, Jalan Raya Pondok Cabe berubah seperti sungai karena air mengalir deras mengikuti kondisinya yang menurun menuju Lebak Bulus.

Untuk menghindari kemacetan, para sopir angkot pun memaksakan diri melalui jalur kiri. Satu dua angkot melalui jalur kanan saat kendaraan arah sebaliknya tersendat di perempatan atau pertigaan jalan yang banyak jumlahnya di Jalan Raya Pondok Cabe.

Pengendara mobil pribadi tentu takkan berani bersikap seperti sopir angkot. Karena hal itu melanggar UU Lalu-lintas khususnya pasal 300 yang menyebutkan bahwa menyalip dari (sebelah) kiri jalan tanpa memperhatikan kendaraan lain dikenakan ancaman kurungan paling  lama sebulan atau denda Rp 250.000.

Masalahnya, tak pernah ada petugas yang berniat menegakkan peraturan itu. Tak pernah ada polisi menilang sopir angkot yang menyalip dari jalur kiri di kawasan Cireundeu. Para sopir pun menganggap apa yang mereka lakukan bukan sebuah pelanggaran lagi alias perbuatan normal, sudah biasa.

Penumpang angkot juga begitu. Pernah ada sopir angkot yang memilih antre di kemacetan. Sementara angkot lainnya berduyun-duyun melintas di jalur kiri. Para penumpang pun memilih turun untuk berpindah ke angkot yang menggunakan jalur tak normal tadi.

“Gerah, panas, bisa telat nih, dasar sopir lelet…” Begitulah kata-kata gerutuan penumpang yang tak terbiasa naik angkot dengan sopir tidak patuh lalu lintas.

Sejak itu tak ada lagi sopir angkot, baik sopir tua ataupun muda, yang tak menggunakan jalur kiri saat terjadi kemacetan.  Bagi mereka, patuh berlalu lintas di kawasan Jalan Raya Pondok Cabe, mungkin banyak kawasan lainnya, sama dengan tak dapat sewa (penumpang), bunuh diri.

Ironis memang. Yang normal menjadi tak normal, yang tak normal jadi normal. Yang ironis mungkin juga dianggap lumrah saja. Capek deh.